Warung Bebas

Monday, March 12, 2012

Cerpen Sebungkus Rokok Penguji Iman

Cerpen Sebungkus Rokok Penguji Iman

Jalan beraspal dimalam hari menyuguhkan suasana yang merekah. Lampu penerang di pinggiran jalan benderang menyapa para pengguna kendara yang melaju dengan bermacam aktivitasnya. Sementara atap langit juga berwarna sempurna. Dengan sedikit awan dan gemintang yang berkedip mengokohkan diri sebagai penerang jagad di malam hari.

“Naik keleta api tut…tut…tuuuut…. ciiiyapa hendak ikuuuut” si kecil Ais bernyanyi riang melantunkan lagu kesukaannya meski dengan lidah yang masih cedal dan bait yang itu itu juga.
“Naik keleta api tut…tut….. tuuuut….. ciiiiiy”
“Adeeek nyanyinya dari tadi Cuma itu aja yang lain dong adek” teriak Udin, si kakak yang duduk didepan bapaknya. Jok sepeda motor yang ringkih itu dinaiki empat beban sekaligus tanpa kompromi.


Maman, Yati-istrinya, Udin dan Ais-kedua anaknya. Tak perduli pada kuda besi yang payah dan tertatih. Keluarga kecil itu tampak bahagia. Maman mengajak mereka ke alun-alaun kota. Sekedar menghibur keluarga untuk jajan dan makan-makan di tempat yang berbeda.

‘Ah, rasanya belum lengkap’ benak Maman merasa ada yang kurang untuk melengkapi kegembiraan malam ini.

“Mampir dulu beli rokok” ucap Maman seraya memberhentikan motor tuanaya ke sebuah toserba agak mini.

Berbinar kejora Maman melihat sekotak batang-batang penghasil asap itu disodorkan kepadanya. Dengan sigap ia serahkan lembar merah muda bergambar mawar kepada penjaga toko itu. Senyumnya mengembang membayangkan gurihnya kepulan asap yang akan segera dinikmatinya.

“Ini mas kembaliannya“ beberapa lembar diterima Maman. Ia terkejut.
“Lho Mas uang saya tadi seratus ribu, kok kembaliannya cuma empat ribu??” ucap Maman penuh keyakinan karena sejak di rumah yang ia masukkan ke dompet hanya dua lembar seratus ribuan dan dua puluh ribuan, gajinya bekerja tiga hari memasang keramik di rumah Haji hasan.

“Ngawur sampeyan !! uang sepuluh ribu bilang seratus ribu” bantah penjaga toko. Maman mengecek kembali dompetnya. Tapi ia sangat yakin tidak membawa uang pecahan sepuluh ribuan.
“Saya tadi bawa uang cuam 100.000an dan 20.000an Mas, sampean yang ngawur” sengit Maman penuh keyakinan.
“Nih kalau Mas nggak percaya, ini uang sampean tadi” si penjaga menunjukkan uang pecahan 10.000an kepada Maman. Jelas-jelas ia tak mengenali uang yang telihat lecek itu. Tapi lututnya terasa lemas. Ia tak bisa berkutik. Baru tersadar ia telah dicurangi.

‘Astaghfirullah…..’ batin Maman beristighfar berulang-ulang untuk meredam emosi. Rasionya berkata. Meskipun ia marah-marah saat ini tetap ia yang akan dianggap salah karena memang tak punya bukti. Dengan langkah lemas ia pergi meninggalkan toserba itu.

“Horeeee, ayo belangkat Bapakku cayang” sikecil Ais tertawa dengan jenaka. Tiga wajah cinta itu masih menantikan malam yang rencananya akan mereka ukir seindah-indahnya. Batin Maman meringis ngilu.
“Ayoooo kita kemon…!!” dengan riang Maman menjalankan motornya kembali. Ia tak ingin merusak malam yang terlanjur di angan indah oleh mereka.

Dalam laju perjalanannya Maman masih terbayang peristiwa tadi. Betapa sakit hatinya. Keringat yang ia cucurkan demi rupiah untuk keluarganya diambil dengan culas oleh orang lain.


“Ya Allah… berikanlah rizki yang lebih berkah untukku dari pada yang telah di ambil orang tadi dan” ……… Maman menghirup nafas panjang, maksud hati ingin mendo’akan keburukan pada orang yang telah mendholiminya ia urungkan.

“Ya Allah, jika orang itu masih saudaraku seagama, ampunilah dia, semoga ia menjadi orang yang lebih baik dan tak ada lagi orang jadi korban penipuannya sebisanya” Maman meredam emosi yang meloncat-loncat dalam dadanya.

Tinggal selembar dua puluh ribuan, rasa pening menghinggapi kepala Maman. Rasanya tak tega mengajak mereka untuk berbalik arah dan pulang. Tapi dengan selembar uang itu ia dapat membelikan apa ???.

Alun-alun kota itu masih dipayungi langit cerah. Seperti biasanya banyak pedagang makanan berjajar disana. Dari yang memakai gerobak sampai yang membuat duplikat lesehan dengan menggelar plastik terpal untuk sekedar alas duduk pelindung dari rumput yang basah dan kotor. Ada juga pedagang mainan, aksesoris, jilbab, baju anak-anak dan lain-lain. Di samping itu masih ada lagi beragam arena bermain seperti mandi bola, odong-odong, kereta mini dan semacamnya. Benar-benar tempat refreshing bagi warga kelas menengah kebawah yang murah meriah.

Wajah Udin dan Aisy terlihat sangat sumringah. Sasaran mereka di arena bermain adalah mandi bola. Mereka berteriak dan tertawa sepuasnya. Meluncur dan dan tejun tanpa takut tenggelam. Wajah sang Ibu bersemu bahagia melihat anak-anak yang ceria itu. Sementara Maman menyedot dan mengepulkan batang-batang rokok termahalnya dengan senyum yang pura-pura.

“Beli mie ayam ya Mas, itu lho yang Mie ayam ceker, sepertinya enak” Yati, sang istri merajuk sembari senyum-senyum.
“Ais mau roti bakar pak…!”
“Udin mau pisang molen….!!” Maman semakin menyedot rokoknya sambil menghitung dalam hati. Cukup tidak ya? Ah masih cukup, biar besok makan lauk ikan asin yang penting malam ini semua gembira. Ia tak tega membagi tragedi yang baru saja terjadi meskipun pada istrinya.

Dan, ketika malam semakin menggigit dengan hawa dinginnya. Maman dan keluarganya pun kembali pulang kerumah. Dengan membawa jajanan Udin dan Ais yang tidak habis dimakan di alun-alun. Sudah tak terdengar lagi nyanyian cedal Ais. Dia sudah ketiduran kecapekan bermain. Udin pun terkantuk-kantuk diboncengan depan. Hanya Ibu mereka yang makin merapatkan pegangan tangannya.

Malam yang sempurna. Maman bernafas lega, berterima kasih pada dinginnya udara. Hingga kembali disapa hangatnya warna cinta.

-----###-----

Ada keributan kecil pagi itu. Yati menggerutu panjang kali lebar kali tinggi dibagi dua persis rumus volume segitiga.

“Kok tega benar orang itu Mas, kita ngumpulin duit jungkir balik, peres keringet senak-enaknya diambil dengan licik, huh moga-moga dia kualat nanti.” penuh emosi Yati mengekspresikan kekecewaannya.

“Gak sampe jungkir balik non, keringet juga gak sampe bisa diperes… hiyyy gak bisa bayangkan baunya hehehe” Maman menanggapi kata-kata istrinya dengan candaan. Bila ia sudah memanggil istrinya dengan embel-embel ‘non’ pasti ia sungguh ingin menerbitkan senyum di wajah wanita itu.

“Pura-pura bego lagi, dikira Mas saja yang capek kerja, dirumah aku juga gak ada istirahatnya Mas. ngerawat sapi, ngerawat ayam buat mbantu sampean Mas”… ekspresi kekecewaan itu perlahan berubah menjadi kesedihan. Bagi keluarga pas-pasan seperti mereka lembar nominal bergambar mawar pink itu sangat bernilai. Dikeluarkanlah segala unek-unek.

Maman tersenyum masam yang dipoles dengan manis semangka. Betapa semua unek-unek tadi merupakan lukisan hatinya juga.

“Sudahlah, marah seperti apapun uang kita tak akan kembali, di ikhlaskan saja. Kita anggap sedekah yang gak repot-repot mengantarkan ya Non!!!” ucap Maman sembari nakal mencolek dagu istrinya. Yati masih cemberut.
“Sudah…. insyaAllah ada rezeki lain yang lebih besar menanti kita”

Terlihat diteras rumah Udin dan Ais tertawa riang. Mereka sedang asyik cerita-cerita tentang pengalaman seru semalam. Perlahan Yati menerbitkan senyum. Dalam hati ia berbisik,
‘Tawa mereka adalah rezeki terindah…’
‘Dan banyolan Mas Maman adalah rezeki yang murah meriah’ Yati tiba-tiba tertawa. Maman melotot heran.

Ya sudahlah, hari tetaplah menjadi hari meski disapa kemalangan. Toh masih bisa merasakan nikmatnya nasi. Badan sehat, perut lapar dan hati riang masih menjadi nikmat yang tak diragukan.

Hari itu mereka makan berlauk ikan asin dan sayur asem kangkung. Pada siang yang gerah namun dalam sapa mentari nan ramah. Mereka hanya ingin mengisi hari dengan warna indah, ada atau tiadanya rupiah.

Hari mengalirlah apa adanya. Tanpa memaksa deretan angka menjadi syarat sebuah bahagia. Hari terbitlah seangggun mentari yang menguntai dzikir tiada henti.


Rotasi berganti….
Maman pergi bekerja seperti biasanya. Menyongsong rejeki dari orang-orang yang membutuhkan keahliannya sebagai tukang bangunan. Ia beruntung hari itu yang membutuhkan tenaganya masih tetangga yang tidak terlalu jauh. Hingga masih bisa pulang setiap senja. Bila di kampung sendiri tidak ada yang membutuhkan tenaganya ia harus ikut proyek di kota-kota besar yang konsekwensinya harus jauh dari keluarga selama berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Tidur di lokasi proyek dan makan yang bukan masakan istrinya. Pilihan karena tak ada lagi pilihan.

Yati, sang istri yang kerap ditinggal suaminya selama seminggu penuh juga mempunyai pekerjaan yang tidak mudah. Meski ia Ibu rumah tangga sejati. Maman menginvestasikan rupiah yang berhasil dikumpulkan dengan cara memelihara seekor sapi dan beberapa ekor ayam. Selain banyak menanam rumput gajah di kebunnya, setiap ada kesempatan di rumah Maman mencari rumput sebanyak-banyaknya. Atau kalau sedang musim panen padi dia mencari kawul untuk ditimbun sebagai pakan sapi agar supaya setiap ditinggal pergi ikut proyek yang jauh Yati bisa memberi makan sapinya tanpa perlu mencari rumput. Ya… untuk bertahan hidup mereka harus benar-benar bekerja keras mencari rupiah demi rupiah.

Saat warna hari membisik pada senja. Tak ada yang seindah selain berkumpul dengan keluarga. Setidaknya bagi Maman yang sering merasakan kerinduan pada istri dan anaknya saat ia harus menginap berhari-hari di lokasi proyek.

Senja itu, Maman kembali pulang. Membawa senyum dan angan wajah-wajah ceria yang menyambutnya. Dia membawa sekantong duku dan lembar-lembar rupiah upahnya selama seminggu.

“Assalamu’alaikum…!!”
“Wa’alaikum sayang bapak” si kecil Aisy menjawab salam dengan khas dan antusias. Sementara Udin langsung menyambar tas kresek bawaan bapaknya. Dan seperti biasa Maman langsung menuju meja makan tanpa perduli aroma masam tubuhnya.

“Udin dan aisy tadi di kasih sangu sama Mbahnya Mas, katanya baru dapat arisan” cerita Yati sambil senyum senyum.
“Berapa…?”
“50 ribu buat berdua, dititipkan padaku, kira-kira mereka dibelikan apa ya biar nggak habis buat jajan percuma.”
“Buat mbancak’i udin saja Bu, udin kan baru hatam ngaji” Udin yang sedari tadi nguping pembicaraan orang tuanya tiba-tiba ikut menyumbang suara.

“Hmm…”
“Iya, kita sembelih 2 ayam di belakang untuk bikin ambeng dibawa ke musholla saja” ujar Maman mendukung usul anaknya.
“Acik acik… hoye hoye…. Aisy bersorak riang. Yati hanya tersenyum melihat tingkah mereka. Ia harus siapkan tenaga ekstra buat masak banyak besok.
Hmm… sungguh nikmat mana yang hendak di dustakan.

Cerita Pendek Selanjutnya:

0 comments em “Cerpen Sebungkus Rokok Penguji Iman”

Post a Comment