Warung Bebas

Thursday, January 19, 2012

Cerpen Ayanti

Cerpen Ayanti

Ayanti sudah tak lagi ingin menangis. Ia seperti telah kehabisan air mata. Ia kini mencoba ikhlas dan pasrah. Tangisan darah sekalipun takkan mengembalikan Sudigdo anaknya, Joyce menantunya, juga Magda dan Mega –dua cucu yang amat disayanginya.

Keempatnya telah terbang bersama angin dan iring-iringan awan yang lalu niskala di birunya langit, gumam Ayanti. Mungkin juga mereka telah lumat di balik debur ombak dan birunya laut. Tak ada yang tahu di mana jasad-jasad mereka kini. Tapi, Ayanti percaya arwah Sudigdo kini sedang berbincang dengan mentari, arwah Joyce bercengkerama dengan rembulan, serta arwah Magda dan Mega tengah bercanda dengan gemintang. Itu sebabnya setiap pagi Ayanti kerap membiarkan matahari melahap kulit rentanya. Itu sebabnya setiap malam wanita itu rela berlama-lama duduk di taman belakang rumah. Menikmati sinar rembulan yang kadangkala begitu redup. Memandangi kerlip bintang yang sesekali menghilang.

Tuhan lebih menyayangi mereka daripada aku, sehingga Dia berkenan memanggil mereka lebih dulu. Itulah gumamnya selalu. Dengan bibir yang kadang terlihat tak bergerak.


Kepasrahan itu mengaliri darah dan memenuhi pori-pori tubuh renta Ayanti begitu pagi tadi ia mendengar berita tentang penghentian upaya pencarian bangkai pesawat yang jatuh entah di belahan Bumi mana. Itu juga berarti berjuta penduduk negeri ini, tak ada satu pun yang akan tahu di mana keberadaan mereka. Entah terempas di kedalaman laut mana. Entah tersembunyi di belantara hutan mana. Suka atau tidak suka, mereka seolah dibiarkan hilang begitu saja. Ketakutan dan kekhawatiran yang hampir sebulan memenuhi rongga dadanya serta mendera batinnya kini benar-benar menjadi kenyataan. Bahwa sebagai ibu dan mertua dan nenek dari anak keturunannya, ia takkan lagi bisa bertemu mungkin sampai ia mati sekalipun. Ia bahkan tak lagi punya kesempatan untuk sekadar melihat jasad tanpa nyawa orang-orang yang selama ini memberinya arti hidup. Memberinya keceriaan.

Pada awalnya perempuan itu berharap keajaiban terjadi. Satu, dua, atau bahkan keempat orang yang dicintainya muncul di depan rumah. Apalagi sempat pula diberitakan koran dan tv bahwa ada 10 orang yang selamat. Tapi, harapan itu kemudian disirnakan oleh berita-berita yang simpang siur, makin simpang siur, dan kemudian benar-benar kabur. Dan, akhirnya semuanya menjadi jelas setelah muncul pernyataan penghentian pencarian korban dan bangkai pesawat.

Pada saat-saat seperti itu ia kerap terbayang wajah suaminya dan kerinduan pun menghentak-hentak dan mengoyak-oyak dadanya. Andaikan Mas Hartanto masih berada di sisinya dan mereka menikmati kerentaan berdua, ia mungkin masih punya senyum paling getir sekalipun sembari berbagi duka. Kini semua duka dan nestapa harus dimamah dan ditelannya seorang diri. Tak ada lagi tempat berbagi. Kecuali pembantu-pembantu rumah.

“Keturunanku habis sudah, Tin,” katanya lemah kepada pembantu yang baru saja meletakkan segelas air hangat di hadapannya. “Aku tak lagi punya penerus.”

Sutinah membiarkan kalimat itu meruap bersama hangatnya sinar matahari pagi dan kicau kutilang di dahan-dahan pepohonan angsana di pinggir jalan. Ia memang tak tahu harus mengatakan apa. Ia telah kehabisan kata-kata untuk menghibur majikannya. Lebih dari itu, sejujurnya Sutinah juga merasa amat kehilangan. Batinnya disesaki oleh kerinduan pada kecerewetan Non Magda dan Non Mega. Tak pernah ia menduga ciuman kedua gadis itu sebulan lalu menjadi yang pertama sekaligus yang terakhir. Seumur hidup belum pernah ia dicium majikannya meski diakuinya hubungan mereka telah begitu dekat. “Biar kamu nggak cepet kangen. Soalnya kami kan mau pergi jauh,” kata Non Magda sebelum tubuh semampainya lenyap di balik kaca gelap mobil. Non Mega pun tersenyum lama sekali kepadanya. “Jaga Omaku ya,” katanya sambil menyibak rambut hitamnya dan kemudian menyusul kakaknya masuk ke dalam van.

Sutinah tak pernah berpikir pergi jauh itu sebagai kepergian selama-lamanya. Baginya, jarak Jakarta – Manado memang tak terbayangkan jauhnya. Apalagi naik pesawat terbang sampai berjam-jam.

“Kalau saja mereka mendengar kata-kataku, Tinah,” kata Ayanti memutus lamunan pembantunya, “mereka takkan celaka. Mimpiku terbukti jadi kenyataan.”

Sutinah mengingat dengan baik ketika perempuan di hadapannya ini menceritakan mimpinya sepekan sebelum keberangkatan tuannya bersama keluarga ke Manado. Tentang matahari yang tiba-tiba tertutup awan. Tentang bulan dan dua bintang yang tiba-tiba tertutup mendung hitam. “Mimpi yang aneh ya, Tin. Aku belum pernah bermimpi seperti itu,” katanya. “Dan, anehnya lagi, aku juga melihat sebuah bintang. Jauh sekali. Kelap-kelip seperti kunang-kunang di kejauhan. Meski mendung, bintang yang satu itu tetap menyala. Kamu pernah bermimpi seperti itu, Tin? Kamu tahu apa artinya?”

Sutinah dengan perasaan sangat menyesal menggelengkan kepalanya. Ia memang belum pernah bermimpi seseram itu.

“Kukira kau pernah bermimpi seperti itu. Dengan begitu kau bisa menjelaskan apa artinya,” kata wanita itu menyambung.
“Maaf, Bu,” sahut Sutinah dengan perasan tak enak. “Mudah-mudahan itu cuma kembang tidur seperti kata orang. Jadi, mungkin lebih baik tak usah terlalu dipikirkan.”
“Sekarang terbukti benar mimpiku, Tin,” perempuan itu menghela napas setelah meneguk teh hangat yang dibuatkan pembantunya. Kehangatan menjalari tubuhnya. Nafasnya terasa lebih longgar. “Itu sebabnya aku sempat melarang mereka berangkat hari itu. Firasatku tak enak. Ah, kalau saja mereka menurut. Atau kalau saja mereka tak berangkat bersama-sama.”

“Kau ingat ketika empat pohon adenium di pot-pot itu tiba-tiba meranggas sepekan sebelum anak dan cucuku berangkat, Tin?” Ayanti kembali bertanya. “Bagiku peristiwa itu tidak biasa. Bukan kebetulan. Batinku mengatakan itu penanda.” Ayanti diam sejenak. Menikmati embusan angin yang bertiup agak kencang. Pohon-pohon cemara emas dan cemara perak gemulai menari-nari. Bergoyang kiri-kanan. Wangi dedaunan rosemary membelai hidungnya. Segar sekali.

“Lalu, sehari sebelum mereka berangkat, burung murai batu kesayangan anakku pun tiba-tiba tak mau bernyanyi. Diam saja seperti berduka. Kau perhatikan tidak, Tin?”
“Iya, Bu. Saya pun heran. Padahal hampir setiap saat ngoceh terus.”
Ayanti tersenyum getir. Matanya nanar menatap ke seberang jalan. Pohon-pohon angsana terus menggoyangkan daun-daunnya. Suara kutilang tak lagi terdengar.
“Burung itu tidak sakit, Tin. Sehat sekali. Bulu-bulunya pun berkilau. Cokelat dan hitam. Lapar pun tidak. Sanijo tak pernah lupa memberinya jangkrik atau ulat bambu lima sampai enam ekor setiap pagi dan sore. Ia juga rajin memandikannya. Jadi, kenapa murai itu berhenti berkicau?”

Sutinah tak menjawab. Ia juga tahu pertanyaan itu memang tak untuk dijawab. Lagi pula, ia cuma ingin menjadi pendengar. Ia berharap dengan bicara seperti itu ibu majikannya ini terhibur. Beban duka batinnya terkurangi.

“Burung murai itu rupanya sudah membaui lebih dulu rencana besar Tuhan. Dia seolah tahu orang-orang yang selama ini merawat dan menyayanginya akan pergi untuk selama-lamanya. Firasatnya lebih tajam. daripada kita. Anugerah Tuhan.”

Sebuah sedan memasuki halaman rumah besar itu. Seorang anak muda muncul. Sambil melangkah hati-hati ia kemudian menyerahkan beberapa berkas surat kepada perempuan renta yang menghadiahinya dengan seulas senyum.

“Uang santunannya sudah dimasukkan ke rekening, Oma,” kata pemuda itu setelah sesaat mengamati Ayanti. Perempuan itu kembali menutupi dukanya dengan seulas senyum. “Saya langsung balik dulu, Oma. Masih ada sedikit urusan. Nanti sore saya kembali lagi. Untuk menemani Oma,” kata pemuda itu sembari berbalik.
“Mamamu baik-baik saja, Reno?” Ayanti bertanya, menghentikan langkah pemuda itu.
“Baik-baik saja, Oma. Cuma kadang-kadang saja menangis. Oma kan tahu, Mama dan Tante Joyce sangat dekat,” jawab pemuda itu. Suaranya terdengar berhati-hati.
“Ya, sudah. Hibur terus Mamamu, Ren. Jangan biarkan ia terus menangis. Seperti Oma ini. Relakan. Ikhlaskan. Mungkin sudah takdirnya.”
“Ya, Oma.”

Berikutnya Ayanti mengambil tangan pembantunya –sesuatu yang belum pernah dilakukannya sebelumnya— seolah ingin mencari kekuatan atau mungkin juga kehangatan. Dari tempatnya duduk Sutinah menatap ujung hidung Ayanti yang mancung dan selalu dikaguminya. Berbeda dengan hidungnya yang nyaris tak punya ujung lancip bahkan seperti datar karena tertutup dengan pipinya yang gembil.

“Yang aku butuhkan bukan uang santunan, Tinah,” katanya sambil membelai tangan Sutinah.

Pembantu itu tergugu. Wajah Magda dan Mega tiba-tiba melintas. Kata-kata mereka ketika menanyakan suvenir apa yang diinginkannya dari mereka berdua seperti baru saja terucap. Dengan sebelah tangannya yang tak tergenggam ia buru-buru menggosok matanya, menahan genangan air yang terasa mau tumpah. Ia tak ingin tanggul pertahanannya bobol.

“Tidakkah kau merindukan mereka, Tinah?”
“Tidak usah ditanya, Bu,” Sutinah akhirnya menyahut juga. Sekuat tenaga ia terus menahan pecah tangisnya.
Keduanya kemudian lama terdiam seperti menikmati hangatnya matahari pagi.
“Ah, aku tak lagi punya keturunan, Tinah. Habis sudah. Punah sudah. Keluarga Hartanto tak punya penerus,” Ayanti berkata dalam desah. “Digdo adalah anak kami satu-satunya.”
Sutinah tak berkata-kata.

***

Di suatu tempat, di sebuah rumah yang asri. Wulandari melipat koran pagi itu. Perempuan belia itu baru saja membaca berita tentang penghentian upaya pencarian pesawat terbang yang hilang bersama lebih dari 100 orang penumpangnya.

Sambil menatap kosong pada dedaunan mahoni di depan rumahnya, ia mengelus perutnya yang membuncit.
“Papa telah pergi untuk selamanya, sayang,” katanya seperti berbisik kepada bayi dalam kandungannya.

Lalu terbayang senyum suaminya, laki-laki yang menikahinya tanpa sepengetahuan istri pertamanya. “Aku akan pergi mengantar Magda dan Mega ke Bunaken. Joyce juga ikut. Jaga bayi kita selama aku tak ada. Ingat, dialah anak laki-lakiku satu-satunya. Dialah penerusku. Nama yang telah kusiapkan juga jangan sampai hilang,” katanya sehari sebelum keberangkatan.

Wulandari membuka tasnya dan menemukan secarik kertas berisi sebuah nama: Digdo Hartanto Air mata perempuan itu kembali mengalir. Bibirnya bergetar.

Penulis cerpen: Tanah Kusir, Maret 2007. Published by Aba Mardjani

0 comments em “Cerpen Ayanti”

Post a Comment